Cita cita kamu kalau besar mau jadi apa?

    Dengan lantang saya menjawab pertanyaan ibu guru BP, “ Saya ingin jadi Insinyur”

    Tentunya Ibu Guru manggut manggut, sambil tersenyum dan mungkin sudah siap dengan jawaban anak-anak didik nya dengan pertanyaan seperti yang di tujukan kepada saya. “Cita cita kamu apa Abi? “

    Ya , menurut saya itu jawaban wajar kalau saya ingin menjadi insinyur, karena teman teman sebelum saya menjawab jadi dokter, pilot, tentara, polisi dan lain lain menurut selera masing masing. Mungkin hanya sekedar menjadi catatan tambahan di data siswa yang mengikuti mata pelajaran Bimbingan Penyuluhan (BP).

    Dan keuntungan kecil saat itu semua jawaban dari anak didik satu kelas di iya kan semua oleh Ibu Guru BP, berfikir anak anak didik nya bakalan jadi orang orang hebat di negeri ini atau justru berfikir “Kalian tahu apa soal cita cita kalian?

    Kesalahan pertama dari guru BP adalah bertanya  pada anak didik nya “ Cita cita kamu kalau besar mau jadi apa?”. Kenapa kesalahan? Bukankah Ibu Guru juga perlu data siswa nya dan itu tugas beliau?

    Okey, agar tidak saling menyalahkan mari kita telaah satu satu.

    Itu masa kecil saya waktu masih duduk di bangku SMP kelas dua, masih kecil kecilnya dan masih imut imut nya. Saat itu rasanya aneh kalau bilang cita cita kita tidak “tinggi” rasanya seperti ketinggalan sama teman teman yang lain. Bukankah cita cita itu tinggal memilih?

  Kalau cita cita tinggal memilih, tentunya kita memilih yang terbaik, misalnya menjadi insinyur, pilot, tentara, dokter, bidan suster iya minimal mantri suntik ( lumayan mantri suntik hewan di kampung saya selain dapat bayaran dari pemilik kadang juga dapat beras, cat.: tidak penting).

    Kembali ke topik, perlu di makhlumi pada usia 13,14 tahun-an adalah masa masa “tidak peduli”, masa masa Cuma tahu senang. Meskipun sudah susah sekalipun tetap senang, karena beban hidup, jumlah daftar yang harus dipikirkan belum banyak.

    Kemudian bayangan bahwa besok kalau besar sebentar lagi dan sedikit lagi jika ada masalah “ pasti mudah di atasi”. Jarang di usia itu ada ketakutan besok saya makan apa? Besok uang jajan saya bagaimana? Karena begitu mudahnya minta kepada orang tua. Memang tidak semua anak di usia begitu “di mudah kan”, semua tergantung keadaan orang tua masing masing.

    Makanya dengan tegas Susilo yang teman sebangku saya menjawab “Saya kalau besar ingin jadi Presiden!”. Teman teman yang lain yang mendengarkan jawabannya sudah jelas tidak peduli, karena mereka masih kokoh dengan cita cita nya masing masing.

Any way, Sudah dapat di bayangkan bahwa satu kelas saya saat itu adalah calon orang orang besar semua dan tidak ada yang jadi orang kecil meskipun badannya masih kecil kecil.       Dan Ibu Guru-pun membimbingnya bagaimana agar kami bisa meraih cita cita itu. Meskipun panjang lebar dan luas beliau menjabarkan kami tetap kokoh tak tergoyahkan “jadi Insinyur” dan jadi jadi yang lain.

    Sampai kapan kita kokoh dengan cita cita itu sedangkan teman teman lain mempengaruhi satu sama yang lain, pelan pelan tapi pasti sedikit demi sedikit agar mendukung cita citanya. ( cita cita kok di dukung terus seperti partai saja ).

    Artinya yang berarti kesimpulan saya, cita cita yang kita dengung kan pada saat itu “belum” punya efek untuk kedepan nya, karena apa? Karena contohnya sewaktu saya masuk STM cita cita itu pelan pelan berubah. Yang tadinya kepingin jadi insinyur berubah menjadi karyawan yang dapat gaji besar seperti paman saya di kota , ini salah satu contoh soal menanamkan cita cita dari waktu kecil.

    Jadi intinya semua yang pernah kita keluarkan via mulut belum jaminan bahwa hal itu dari benar benar niat kita ( cita cita contohnya). Karena hidup itu berjalan dan berubah. mengakibatkan pola pikir berubah, merubah cara pandang pada sesuatu hal. Semakin dewasa akan semakin tahu , oh ternyata begini begitu, ternyata hidup tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh perjuangan yang keras karena kondisi jaman yang semakin ketat dalam persaingan.
[post_ads]
    Termasuk cita cita saya kepingin jadi Insinyur  ternyata menjadi lebih spesifik karena sudah bisa menelaah. Apa gunanya Insinyur? Bukankah hanya untuk bekerja, jadi pada akhirnya memilih untuk bekerja menjadi karyawan tanpa harus jadi Insinyur (cat: pembelaan pribadi karena tidak sanggup kuliah).

  Apapun yang saya katakan di atas adalah menurut saya dan kenyataannya penting juga menanamkan pikiran bercita cita kepada anak didik dari waktu kecil seperti yang dilakukan Ibu Guru BP saya. Pada efek jangka pendek adalah agar murid murid semakin giat belajar, dari belajar selanjutnya memahami , yang salah satunya memahami ternyata cita cita yang kokoh dan tegas di ucapkan tempo hari ternyata tidak sesuai lagi dan perlu di revisi. Dan dari belajar yang giat tentunya semakin bisa memahami bahwa hidup memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

   Maka teruslah bercita cita, karena dengan cita cita sekecil apapun, dari situ dapat ditemukan banyak hal. Ini celoteh ringan yang agak tidak penting hari ini di sela sela kesibukan saya untuk menggapai cita cita baru saya. Yaitu menjadi penulis yang baik dan beradab.

Komentar

  1. dari kecil saya gak kepikiran cita-cita saya jadi apa... bingung, bahkan jadi presiden nggak, kuliah asal kuliah masuk program studi teknik manufaktur dan sekarang jadi, Marketing, Entah nasib atau karena dosa hahahaha....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya bersyukurnya cita-cita semua orang itu telah disediakan oleh Sang Pencipta, meskipun di tidak dipedulikan selama ini. Bravo sukses selalu buat anda Ms Dhavin.

      Hapus

Posting Komentar

Apa yang bisa dipetik dari tulisan saya?
Silahkan berkomentar dengan baik.
Terima Kasih

Postingan populer dari blog ini

Cara Menjadi Penulis di Jawa Pos Paling Jitu

Anakku Inspirasiku

10 Destinasi Wisata Lokal yang Mirip di Luar Negeri