Anakku Inspirasiku

Anakku Inspirasiku

    Usianya belum genap dua tahun waktu memaksakan diri untuk belajar naik sepeda, untung lah simbah putrinya membelikannya sepeda waktu itu, menjadi kesenangan barunya tiap waktu meskipun kadang merepotkan kedua orang tuanya. Padahal, mestinya sudah bersyukur karena tidak ada beban membelikan anaknya sepeda.

    Ini cerita tentang anak pertama saya, anak yang lahir setelah setahun pernikahan saya dengan seorang gadis desa yang paling cantik menurut saya waktu itu. Dan saya selalu mengingatnya sebagai bagian dari saksi sejarah beratnya membangun sebuah keluarga baru.

    Kebanyakan memang setiap mengawali membangun sebuah rumah tangga baru selalu melewati berbagai masalah bisa sebuah masalah biasa, sampai yang levelnya ribet. Itu saya bilang wajar, sebagai pembelajaran menuju kedewasaan berumah tangga. Dan tentunya saya sudah banyak melewatinya, meskipun masih dalam takaran biasa.
[post_ads]
    Membandingkan antara pandangan masalah hidup pada saat kita belum berumah tangga ( masa berpacaran) dan pada saat kita sudah mulai membangun keluarga kecil kita, rasanya menjadi cerita tersendiri bagi saya. Saya tidak pernah membayangkan segala kesusahan yang akan saya rasakan setelah menikah nanti, mungkin itu sebuah kebodohan tersendiri bagi saya, tidak ada bayangan gelap sama sekali. Itu terpikir pada masa pacaran.

    Pokoknya hidup itu akan mudah dan indah, pokoknya segalanya bisa di atur nanti kalau tiba waktunya dan itu tidak perlu di pikirkan sekarang. Keberanian yang sangat tinggi dan dari sisi pandangan lain saya mengagumi pikiran saya sendiri.

    Di usia anak saya masih bayi, saya sering terbangun dari tidur merasa kaget akan sesuatu, dan sesuatu itu apa? sebuah ketakutan dalam hati, sebuah ketakutan dari sebuah kebingungan, sebuah tekanan batin bermacam pertanyaan yang belum tahu maksud nya.

    Mulai memahami, saya punya ketakutan kepada sebuah tanggung jawab baru sebagai seorang "ayah", perasaan semacam ini mungkin lebih berlaku pada seseorang yang belum siap menikah pada usianya atau 'pernikahan dini'. Seperti saya, menikah di usia 23 tahun sebuah kenekadan seorang bocah yang baru tahu sedikit masalah hidup. Kembali saya mengagumi keberanian itu.

    Tapi apa yang bisa saya lakukan? saya harus memberikan nafkah untuk istri dan anak saya, lalu saya harus berbuat apa?

    Saya menyebutnya masa masa survive, masa bertahan hidup. Masa di mana saya harus mencari celah dari segala sisi hidup agar "kami" tetap bisa melanjutkan hidup.

Anakku Inspirasiku
    Hingga anak yang saya ingat selalu itu kini tumbuh menjadi dewasa dan saya masih tersenyum bila mengingat waktu dia memaksakan diri untuk belajar bersepeda.


    Karena ternyata kenekadannya untuk bisa melakukan sesuatu itu menjadi inspirasi besar bagi saya, dia yang masih kecil itu berusaha mengayuh dan terjungkal, di ulangi dan diulanginya lagi tanpa menyerah. Kenapa saya tidak ambil nilai perjuangannya? Bahwa saya tidak harus punya ketakutan yang begitu yang bahkan menjadi tekanan batin, toh anak saya berani jatuh, kenapa saya tidak? dan merasa terkurung dalam kebingungan.

    Setelah 13 tahun, anak itu membisikkan di telinga saya bahwa dia bangga memiliki ayah seperti ayahnya ( yaitu saya),  tanpa sadar bahwa karena dia yang sebenarnya menjadi inspirasi bagi saya untuk terus maju dan terus kuat berusaha sampai hari ini. 

Terima kasih anakku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menjadi Penulis di Jawa Pos Paling Jitu

10 Destinasi Wisata Lokal yang Mirip di Luar Negeri