Paryo dan Jam Mahalnya

Paryo dan Jam Mahalnya

    Namanya Paryo, penampilannya sederhana bahkan sangat sederhana. Selain itu orangnya sangat lugu berfikir apa adanya dan cenderung kurang memahami sekitar, tidak suka pakaian dengan style baru, sehari hari memakai pakaian apa adanya. Saya pernah bilang dia itu “ ndueso” dan Thukul Arwana bilang “katrok”.

    Dia teman saya saat bekerja satu factory/ pabrik di Tanjung Manis Sarikei.
    Apa yang istimewa darinya sehingga saya menulis cerita tentang dia?.
.........
Paryo dan Jam Mahalnya
    Suatu hari dia tergopoh-gopoh mendekati saya sambil senyum senyum, dia keluarkan dari kantongnya sebuah jam baru, lalu menunjukkan ke saya.

    “ Jam tangan saya baru Mas” bilangnya pada saya mengawali percakapan di malam itu.

    Lalu saya lihat jam barunya, sambil tersenyum dan berfikir, si Paryo tumben beli barang barang beginian. Saya teliti ternyata sebuah merk jam mahal, mulailah muncul keheranan saya ‘ buat apa si Paryo beli jam mahal segala?’.

    “ Murah mas, cuma 50 ringgit” ucapnya sambil mengusap-usap rambutnya yang kelihatan kusut.

    Jelas saja saya tidak percaya, sedikit banyak saya tahu bagaimana ciri-ciri jam itu original atau palsu. Jam ini tidak mungkin jam yang murah. Kalau jam seharga 50 ringgit itu kelasnya jam yang dijajakan dipasar-pasar tradisional atau tepian jalan.

    “ Dimana Mas belinya?" tanya saya ke Paryo.

    “ Di toko Jam Mas, di toko "xxxx" di jalan Ground Floor, Jalan Pasar, Sibu” jawabnya.

    Setelah saya ingat-ingat itu toko jam terbesar di kota itu, yang menjual jam-jam mahal ber-merk. Saya jadi semakin tidak yakin kalau si Paryo jujur sama saya. Mungkin dia sudah mulai menipu saya .

    “ Kalau tidak percaya , Mas Tanya saja sama Rudiat” ucapnya untuk memastikan saya.
……….
    Suatu kesempatan saya ngobrol dengan Rudiat, teman si Paryo yang konon jadi “saksi” tentang jam “murah” si Paryo.

    Saya mulai perbincangan dengan setengah interogasi ke Rudiat masalah jam yang Paryo mulai pakai setiap hari itu.

    Kemudian Rudiat mulai bercerita.
    “ Sebenarnya saya juga heran Mas, kenapa Paryo bisa membeli jam mahal itu, tapi dia tidak berbohong soal harganya Mas, jam itu benar-benar berharga 50 ringgit. Saya tahu sendiri pas dia membayarnya ke kasir.” Ucap Rudiat.

    “ Waktu itu Paryo memang pingin jam, minta anter saya ke Sibu. Pada saat Paryo mau masuk toko itu saya sudah bilang kalau toko itu jual jam-jam yang mahal, tapi dia bilang apa salahnya kita lihat lihat. Yaaaa… terpaksa saya kami masuk Mas” lanjutnya, sambil menghisap batang rokoknya. Lalu melanjutkan lagi.

    “ Nha pada saat dia melihat-lihat jam di etalase itu, datang orang China kayaknya yang punya toko Mas, Boss-nya kali ya Mas…..”

    “ Mukanya kelihatan tidak enak, memandang Paryo gimana gitu. Pokoknya raut wajahnya kelihatan benci sama Paryo. Saya nggak tahu , mungkin karena waktu itu pengunjung toko lumayan ramai dan Paryo berusaha ikut nimbrung di situ dan mungkin tidak enak dilihat sama pemilik toko itu”

    “ Lagian Paryo banyak tanya mas, ini berapa itu berapa. Mas kan tahu sendiri gimana si Paryo?” Kata Rudiat sambil tersenyum pada saya.

    Saya mulai penasaran dengan cerita Rudiat selanjutnya, bagaimana cerita sesungguhnya hingga si Paryo sampai bisa membeli jam mahal itu. Tak sabar akupun berkata “ Lalu?”

    “ Pada akhirnya Boss itu membentak keras, sampai sebagian besar pengunjung mendengarnya Mas, semua orang melihat Boss itu bicara keras di dalam toko-nya” Lanjut Rudiat.

    “ Teriak apa?"  pertanyaan penasaran saya.
    “ Dia bilang begini: ‘ kalau kamu punya uang 50 ringgit bayar jam itu!!' begitu Mas teriaknya” Jawabnya.
[post_ads]
    “ Lalu?” pertanyaan saya tambah penasaran.

    “ Ya si Paryo spontan mengeluarkan uang 50 ringgit Mas dan membayarnya,  tapi Boss itu kebingungan saat menerima uang itu, sementara banyak pengunjung toko itu memandang padanya”.

    “ Mukanya merah Mas, sambil memberikan jam itu sambil ngomel-ngomel yang saya tidak tahu karena dia memakai bahasa Mandarin”

    “ Terus habis itu gimana si Paryo?” Tanya saya sambil masih terheran heran.

    “ Ya Paryo terima jam itu dan bilang terima kasih lalu keluar mas, sambil senyam-senyum” jawab Rudiat di akhir ceritanya soal kronologis jam murah si Paryo.

……..
    Kesimpulan saya sendiri. Si paryo orang yang lugu tidak mudah berfikir macam macam disaat ada orang tidak suka padanya sekalipun.

    Pada saat dia bertanya soal jam tangan mahal itu dia hanya berfikir memang dia ingin tahu tanpa peduli orang lain ada yang terganggu karena “mungkin” penampilanya yang “katrok” yang menurut salah satu orang yaitu pemilik toko itu merusak pemandangan toko-nya, yang mungkin khawatir kehadiran Paryo berdampak pada suasana toko-nya saat itu.

    Si pemilik ingin agar Paryo yang menurut pandangannya “tidak punya” uang meskipun sampai batas 50 ringgit saja karena tidak mungkin orang se”kumuh” Paryo punya uang segitu.

    Si Paryo tetap si Paryo yang apa adanya, yang menganggap semua orang disekitarnya bicara apa adanya seperti dia. Dan teriakan si pemilik took yang sebenarnya menyepelekannyapun justru menjadi jalan rejeki yang hingga saat dia memamerkan jamnya pada saya itupun belum sadar dengan apa yang terjadi sesungguhnya.

     Dia tidak merasa di marahi meskipun di teriaki seseorang, dia tidak merasa di sepelekan seseorang, dia merasa percaya diri dengan dirinya yang apa adanya yang orang banyak ( termasuk saya ) menganggapnya “kumuh. lusuh .ndueso ,katrok dll” itu.

    Tapi yang pasti Paryo tetap temanku dan aku merindukan orang sepertinya,

    Dimana kamu Paryo?
   Itulah cerita saya kali ini tentang Paryo dan Jam mahalnya, semoga berguna dan ada hikmah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalan-jalan wisata liburan ke Museum Purbakala Sangiran Sragen Jawa Tengah

Kenapa kita harus bekerja?

Mengapa pengajuan Google Adsense saya untuk domain sendiri di setujui?